Ketua PWI Kuningan Protes, Wartawan Diperiksa BK DPRD

Radio Trimekar FM – Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Kuningan, Iyan Irwandi, S.IP., sangat prihatin sekaligus mempersoalkan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap lima wartawan oleh Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Tindakan tersebut, dinilai kurang menghargai profesi wartawan.

Karena, merupakan sejarah yang baru pertama kali terjadi di Kabupaten Kuningan.

BK DPRD semestinya tidak berperan sebagai aparat penyidik kepolisian.

Karena penanganan peradilannya hanya untuk internal wakil rakyat saja.

“Seharusnya, ketika ingin memperoleh informasi sebagai alat bukti, BK jangan manggil dan memeriksa wartawan. Tetapi dikemas melalui jajak pendapat atau hal lain yang lebih elegan. BK hanya pengadilan di internal dewan tetapi kalau berkaitan dengan hal umum, maka alangkah baiknya saling menghargai,” sindirnya.

Ia membeberkan, sepengetahuannya, berdasarkan Pasal 15 Ayat 6 Peraturan DPRD Kabupaten Kuningan No. 2 tahun 2018 tentang Tata Beracara BK DPRD, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas pengumpulan alat bukti, BK dapat meminta bantuan kepada ahli atau pakar yang memahami materi pelanggaran yang diadukan.

Dengan demikian sudah jelas, kalau berkaitan produk jurnalistik yang hasil wawancara dan sempat viral, BK DPRD semestinya meminta bantuan ahli atau pakar terkait produk jurnalistiknya.

“Perlu dicatat, meminta bantuan, bukan memanggil dan memeriksa wartawannya,” ketusnya.

Perlu diketahui, dalam menjalankan profesi jurnalistik, semua wartawan mengacu pada Undang-Undang Nomor : 40 tahun 1999 tentang Pers.

Sehingga, jika ada permasalahan yang berkaitan dengan hasil produk pers, maka harus diselesaikan sesuai aturan tersebut.

Ditambah lagi adanya MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri sehingga permasalahan yang diakibatkan karya jurnalistik, tidak langsung diproses secara pidana.

Namun, penanganannya diserahkan ke Dewan Pers sesuai ranahnya.

Sementara itu, berkaitan pemeriksaan, wartawan Tribun Cirebon, Ahmad Ripai dan Wartawan Radar Kuningan, Mumuh membenarkan jika mereka diperiksa sekitar tiga jam dengan pertanyaan seputar wawancara dan viralnya perseteruan Ketua DPRD, Nuzul Rachdy dengan Ponpes Husnul Khotimah.

Namun, mereka merasa heran sebab diundangan disebutkan sebagai wartawan dan diperiksa pun berkaitan dengan tugas jurnalistik tetapi saat proses pemeriksaan dianggap sebagai masyarakat saja.

Pedoman Dewan Pers No : 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik tertanggal 4 Mei 2007 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A.

Berkaitan dengan beberapa kasus pemanggilan wartawan untuk diperiksa oleh lembaga penyidik atau menjadi saksi dalam perkara yang terkait dengan karya jurnalistik, Dewan Pers perlu menyampaikan pedoman mengenai ketentuan dan penerapan hak tolak serta pertanggungjawaban hukum.

Poin 1, wartawan sebagai warga negara yang taat hukum secara prinsip wajib memenuhi panggilan lembaga penyidik untuk memeriksa atau menjadi saksi dalam peradilan.

Berdasarkan sifat profesinya, wartawan miliki hak tolak untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari narasumber yang harus dirahasiakan sesuai UU PERS NO 40 TAHUN 1999.

Namun hak tolak tersebut tidak berarti lembaga pers menolak pemanggilan untuk didengar keterangannya oleh pejabat penyidik.

Poin 2. Pasal 4 ayat (4) UU Pers berbunyi, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Tujuan utamanya adalah wartawan dapat melindungi identitas sumber informasi. Hak itu bisa digunakan ketika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan

Poin 5, Dijelaskan lagi, kepada aparat penegak hukum, perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi. Aparat penegak hukum, MENGHINDARI PEMANGGILAN WARTAWAN untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan untuk mengusut kasus.

Nah, yang jadi pertanyaan baliknya,

1. Apakah, BK DPRD merupakan lembaga penyidik umum atau hanya internal wakil rakyat saja.

2. Pasal 4 ayat (4) UU PERS NO 40 TAHUN 1999, dijelaskan secara gamblang, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum/pengadilan.

Artinya lembaga pengadilan umum, bukan internal.

Pendapat saya :
Kalau sampai semua pihak atau kelompok, berdalih boleh memanggil dan memeriksa wartawan oleh masing masing penyidik internalnya, maka saya anggap keliru.

Apalagi BK DPRD, yang hanya berkaitan dengan etika anggota dewan.

Karena, yang menyangkut pidana pengungkapan sesuatu kasus pun, aparat kepolisian diingatkan untuk menghindari pemanggilan wartawan.

Jadi, harus bisa dibedakan. Mana penyidik dan peradilan umum serta mana yang hanya internalnya saja. (Forkowas)***

 

 

 

 

Exit mobile version