Kebijakan Ganjil Genap, Cara Humanis Batasi Mobilitas Masyarakat

Radio Trimekar FM – Kapolres Sumedang AKBP Eko Prasetyo Robbyanto mengatakan, seiring dengan pergeseran kebijakan pemerintah dari yang semula difokuskan pada mengejar herd immunity (kekebalan komunal) kearah optimalisasi disiplin prokes dan pembatasan mobilitas masyarakat melalui Gerakan 5 M dan memasivkan kegiatan 3T yang di paralelkan dengan kegiatan vaksinasi, maka tentunya harus dipikirkan kebijakan jangka panjang yang bisa di terapkan untuk mengadopsi kebijakan tersebut.

Kebijakan penutupan atau penyekatan jalan untuk membatasi mobilitas masyarakat adalah kebijakan yang berlaku jangka pendek (tidak permanen).

Sehingga, Pemkab Sumedang bersama Polres Sumedang mencoba strategi Ganjil Genap sebagai strategi jangka panjang penanganan Covid 19 yang akan menggantikan penyekatan dan penutupan jalan.

“Kebijakan ini dinilai memiliki beberapa kelebihan dibanding penyekatan dan penutupan jalan,” ujarnya.

Karena, terbukti lebih efektif dan dibuktikan dengan analisa kuantitas kendaraan yang melalui jalur sebelum dan sesudah kebijakan ganjil genap serta dapat diadopsi sebagai strategi jangka panjang pembatasan mobilitas masyarakat dalam rangka penanganan pendemi.

Kemudian, lebih humanis dibanding penutupan dan penyekatan jalan.

“Bila penutupan jalan dilakukan secara ketat maka gerobak pedagang kaki lima pun tidak bisa melewatinya,” ucap dia.

Maka, hal itulah yang membuat water barrier maupun police line utk penutupan jalan selama ini tidak dibuat dari rantai ataupun portal besi oleh Polres Sumedang.

“Namun, jika terus menerus dibiarkan dibongkar barrier penutupan/penyekatan jalan tersebut, maka hal itu akan berimplikasi negatif terhadap wibawa aturan pemerintah daerah,” ucapnya, Rabu (4/8/2021).

Atas pertimbangan hal tersebut diatas, maka dirasa perlu sebuah kebijakan yang dapat membiarkan gerobak pedagang kaki lima bisa lewat.

Namun, pembatasan mobilitas masyarakat tetap bisa dilakukan yakni kebijakan ganjil genap tersebut.

“Kebijakan ganjil genap ini juga dianggap bisa mengadopsi aturan PPKM level 3 dan 4 yang membolehkan rumah makan untuk menerima pengunjung dengan jumlah tertentu dan waktu tertentu (kebijakan penutupan jalan dirasakan sudah menjadi tidak sesuai untuk mengakomodir hal tersebut),” ujarnya.

Secara logis kebijakan ganjil genap akan meningkatkan pendapatan dari pengemudi ojol, delman dan becak di tengah kota sehingga diharapkan membantu meringankan beban hidup mereka di masa masa pendemi.

“Dalam pelaksanaannya kebijakan ganjil genap juga akan mencerminkan kolaborasi aparatur pemerintahan yang solid, karena dalam penegakkan aturannya dibutuhkan Kerjasama dari unsur TNI Polri, Dinas Perhubungan dan Satpol PP,” tutur Eko.

Kebijakan ganjil genap juga bisa dimodifikasi sebagai sebuah sarana wisata.

“Masyarakat bisa menitipkan kendaraannya yang tidak bisa melalui jalur ganjil genap di kantung-kantung parkir yang telah di tentukan lalu pemerintah daerah menyiapkan Bis Tampomas/ Bandros (Bis mirip Odong Odong milik Pemkab Sumedang) untuk wara wiri di sepanjang jalur Tugu Binokasih hingga Bundaran Alam Sari mengantar masyarakat tersebut selama pelaksanaan ganjil genap,” katanya.

Ia menitipkan pemikiran, bahwa jangan terjebak dengan perspektif sempit bahwa kebijakan ganjil genap selalu dikonotasikan sebagai sebuah kebijakan untuk mengatasi kemacetan di perkotaan.

Namun kebijakan ganjil genap yang dicoba diimplementasikan di Sumedang haruslah dilihat sebagai dari perspektif ikhtiar pemerintah daerah dalam menangani Covid-19.

Yakni, melalui pembatasan mobilitas masyarakat dengan cara yang lebih humanis. ***

Laporan: Azis Abdullah

Exit mobile version